Kritik Sanad

14.07 Edit Artikel

Kritik Sanad By Suhendri

A. Pendahuluan

Tujuan penelitian Hadis adalah untuk menilai apakah secara histories sesuatu yang dikatakan sebagai Hadis Nabi saw. benar-benar dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya berasal dari Nabi saw. ataukah tidak. Hal ini sangat penting sebab kedudukan Hadis erat kali hubungannya dengan dapatnya Hadis dijadikan hujah agama.

Untuk keperluan penelitian kualitas Hadis Nabi saw. para ulama telah menciptakan pelbagai kaidah dan ilmu pengetahuan Hadis. Dengan kaidah dan ilmu Hadis tersebut maka para ulama mengadakan pembagian kualitas Hadis. Pembagian kualitas Hadis ini dilihat dari dua sisi, yaitu pengkajian tentang sanad dan matan.

Pengkajian sanad menjadi penting, sebab bila suatu Hadis sanadnya benar-benar dapat dipertanggungjawabkan maka Hadis tersebut bernilai maqbul (Sahih atau Hasan). Hal ini memang logis mengingat apabila suatu informasi telah benar-benar dipercaya sumber dan rangkaian pembawa informasinya maka penerima informasi tidak memiliki alasan untuk menolak kebenaran informasi itu.

Mengingat kaidah kesahihan sanad Hadis merupakan salah satu acuan umum yang mendasar untuk meneliti dan menentukan kulaitas suatu Hadis maka kaidah dimaksud perlu ditelaah secara kritis sehingga apabila tingkat akurasi kesahihan sanad telah dapat diketahui maka akan dapat diketahui pula faktor-faktor lain bila ada yang menyebabkan terjadinya perbedaan antara kualitas sanad suatu Hadis tertentu. Oleh karena itu dalam makalah ini akan dibahas tentang: Pengertian dan Sejarah Perkembangan Kritik Sanad serta Konsep Dasar dalam Penelitian Sanad.

B. Pengertian dan Sejarah Perkembangan Kritik Sanad

Sanad secara etimologis berarti sandaran dan pegangan. Secara terminologis sanad berarti jalan yang menyampaikan kita kepada matan Hadis. Maksudnya adalah sejumlah nama orang yang menjadi periwayat sebuah Hadis secara berurutan. Satu persatu nama periwayat diidentifikasi mulai dari sahabat yang menerimanya dari Nabi saw., tabiin yang menerimanya dari sahabat sampai kepada penghimpunnya. Sementara itu yang dimaksud dengan kritik sanad adalah penilaian terhadap keadaan setiap periwayat Hadis yang bersangkutan dari berbagai aspek, masa hidup, pengetahuan, guru dan murid, kejujuran, kesalihan, kekuatan ingatan, cara berpikir dan aliran teologi yang dianutnya sehingga penilaian dapat menentukan apakah riwayatnya dapat diterima atau tidak. Kritik sanad dalam ilmu Hadis dikenal dengan sebutan an-Naqd ad-Dakhili (kritik intern).[1]

Muhammad ibn Sirin (23-110 H) menjelaskan bahwa kaum Muslimin dahulu tidak mempetanyakan isnad baru setelah terjadi perang saudara (fitnah) mereka berkata: “Sebutkan orang-orangmu?”. Jika dilihat ahli Sunnah maka Hadis mereka diambil. Jika ahli bidah maka Hadis mereka tidak diambil.[2]

Pernyataan Ibn Sirin di atas menunjukkan bahwa tuntutan terhadap sanad muncul sesudah berlangsungnya perang saudara dan sanad ketika itu dikelompokkan ke dalam dua klasifikasi, yaitu ahli Sunnah dan ahli Bidah. Selanjutnya dari keterangan Ibn Sirin juga dapat disebutkan bahwa mereka membedakan antara ahli Sunnah dan ahli Bidah. Orang yang tidak menganut paham ahli Sunnah pada umumnya mereka dinilai sebagai ahli Bidah. Dengan demikian berarti mereka telah melakukan kritik sanad karena mereka telah melakukan penilaian terhadap periwayat yang tidak mereka terima sesuai dengan kriteria yang mereka tentukan.

Keterangan di atas menunjukkan pentingnya keberadaan dan kedudukan sanad di kalangan sahabat dan tabiin. Ungkapan-ungkapan mereka juga menunjukkan adanya kritik sanad baik di masa sahabat maupun di masa tabiin. Kemudian, ungkapan yang senada ditemukan juga di kalangan ulama Hadis berikutnya, seperti pernyatan al-Hakim (w. 405): “Sekiranya tanpa isnad dan tuntutan kelompok ini terhadapnya serta banyaknya latihan untuk menghafalkan niscaya hilanglah obor Islam sedang kaum ateis dan ahli Bidah akan dapat membuat-buat Hadis serta membalik-balik sanad-sanad karena sesungguhnya khabar (Hadis) jika luput dari keberadaan sanad-sanad padanya akan menjadi terputus.[3]

C. Konsep Dasar dalam Penelitian Sanad

Pada mulanya, kitab Usul at-Takhrij wa Dirasah al-Asanid karya Mahmud ath-Thahhan, ‘Ilm al-Jarh wa at-Ta’dil: Dirasah wa Tathbiq karya ‘Abd al-Maujud Muhammad ‘Abd al-Lathif dan Dirasat fi al-Jarh wa at-Ta’dil karya Muhammad Dhiya` ar-Rahman al-A’zhami merupakan kerangka teoretis dalam penelitian sanad. Sementara itu secara operasional penelitian sanad dapat dilakukan sebagaimana diuraikan oleh Ustaz Ramli Abdul Wahid dalam seminar kelas mata kuliah Hadis berikut ini[4]:

  1. Penentuan Kaidah Nilai Sanad (Dasar Penelitian)

a. Sanad bernilai sahih, bila memiliki syarat-syarat sebagai berikut:

- Ittisal berarti bersambung atau berhubungan. Dimaksud dengan bersambunga atau berhubungan dalam kajian Hadis adalah antara satu periwayat dengan periwayat berikutnya saling berhubungan. Maksudnya, di antara pembawa Hadis dan penerimanya terjadi pertemuan langsung. Dengan rangkian ini maka terciptalah silsilah sanad yang sambung menyambung sejak awal sanad hingga ke Rasulullah saw.[5]

- Adil, perawai yang adil yaitu perawi yang lurus, tidak menyimpang, tidak berat sebelah dan tidak zalim. Lebih lanjut Ibn Hajar al-‘Asqalani menyebutkan seseorang dikatakan itu adil apabila ia memiliki sifat-sifat ketakwaan, akidahnya benar, akhlaknya terpelihara dan menjaga muruah di samping ia merupakan muslim, balig, berakal, dan tidak fasik.[6]

- Dabit, yaitu perawi yang dabit adalah perawi yang kuat, kukuh, cermat dan kuat hafalannya. Lebih jauh Ibn Hajar menyebutkan orang yang dabit adalah orang yang kuat hafalannya terhadap sesuatu yang pernah didengarnya kemudian mampu menyampaikan hafalan tersebut manakala diperlukan. Dengan demikian orang yang disebut dabit adalah orang yang harus mendengar secara utuh apa yang diterimanya, memahami isinya, kemudian mampu menyampaikannya dan meriwayatkannya kepada orang lain. Secara umum dabit terbagi dua, yaitu dabit sadr dan dabit kitab.

- Tidak ada syaz. Syaz berarti ganjil, asing, menyalahi aturan, tidak biasa atau menyimpang. Dengan demikian hadis yang syazz adalah Hadis yang menyimpang, ganjil, asing, tidak biasa dan menyalahi aturan. Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa syazz adalah Hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang siqah, tetapi riwayatnya bertentangan dengan riwayat yang dikemukakan oleh banyak periwayat siqah lainnya.[7]

- Tidak adanya ‘illat. ‘illat berarti penyakit, sebab, alasan atau halangan. Dengan demikian tidak ‘illatnya berarti Hadis itu tidak berpenyakit, tidak ada sebab yang melemahkannya dan menghalanginya. Dengan demikian dapat dipahami bahwa ‘illat adalah suatu sebab yang tidak tampak atau samara-samar yang dapat mencacatkan kesahihan Hadis.

b. Sanad bernilai hasan, bila salah seorang perawinya kurang sempurna dabit (hafalannya)/ khafifun dabt. Sementara itu syarat yang lain sama dengan Hadis Sahih.

c. Sanad benilai daif manakala sanadnya kurang satu atau lebih dari syarat sanad hasan.

  1. Langkah-langkah Penelitian Sanad

a. Penelusuran Hadis pada semua sumber aslinya. Yaitu kegiatan dimana peneliti sanad berupaya mencari Hadis pada kitab-kitab Hadis yang ada. Misalnya suatu Hadis terdapat di kitab Muwaththa’ Imam Malik, maka jika peneliti ingin meneiliti Hadis tersebut ia harus menelusuri Hadis tersebut di kitab-kitab Hadis yang lain. Semakin banyak seorang peneliti menemukan Hadis yang dicari pada kitab-kitab Hadis yang merupakan siumber aslinya, maka keakuratan kesimpulan penelitian sanad peneliti akan semakin valid.

b. Pembuatan skema sanad. Membuat urutan sanad mulai dari mukharrijnya sampai dengan Rasulullah saw. dalam satu bagan. Misalnya Hadis yang diingin diteliti terdapat pada 3 kitab Hadis, misalnya dalam Sunan Abu Dawud, Sahih Muslim dan Musnad Ahmad, maka yang harus dilakukan oleh peneliti adalah membuat skema sanad dalam satu bagan yang menunjukkan urutan sanad, mulai dari Abu Daud, Muslim dan Ahmad ibn Hanbal sampai ke Rasulullah saw.

c. Identifikasi para periwayat. Upaya untuk mengenal lebih dalam tentang pribadi para periwayat. Oleh karena itu dalam bagian ini dicantumkan nama lengkap para periwayat, masa hidupnya (lahir dan wafat), guru-gurunya dan murid-muridnya dan penilaian ulama Hadis terhadap mereka

  1. Penilaian Kritikus Hadis yang Kontradiktif

Dalam penelitian sanad seorang peneliti akan menemukan bahwa ada seorang periwayat dinilai siqah oleh kritikus Hadis sementara kritikus lain menilainya la ba`sa bih dan yang lainnya lagi menilainya daif. Menghadapi hal tersebut seorang peneliti sanad harus berpegang pada kaidah:

“Jarh (penilaian negatif) harus didahulukan daripada ta’dil (penilaian positif) bila diberikan penjelasan”

Dengan kata lain, dapat dipahami bahwa nilai daif oleh mutasyadid ditolak jika ada nilai lain dari kelompok lain, sebaliknya nilai siqah oleh mutasyahil tidak dipegang jika ada nilai lain dari kelompok lain.

  1. Memeriksa adanya ittisal, syuzuz, ‘illah, irsal, mursal, tadlis dan lain-lain

Langkah berikutnya adalah memeriksa apakah sanadnya ittisal (bersambung) atau terputus (inqita’). Caranya adalah dengan melihat masa hidupnya dari para perawinya apakah dimungkinkan mereka bertemu atau tidak. Jika dimungkinkan maka sanadnya muttasil dan bila tidak maka sanadnya munqati’. Sementara itu memeriksa syuzuuz (j. syazz) adalah dengan cara melihat periwayatan Hadis yang diriwayatkan perawi, apakah tidak bertentangan dengan kebanyakan perawi siqah lainnya. Sementara itu memeriksa ‘illah sanad dari suatu Hadis berkenaan dengan identifikasi kepribadian perawinya apakah perawi termasuk orang yang berakhlak mulia, memelihara muruah dan seterusnya. Selanjutnya memeriksa tadlis. Tadlis adalah Hadis yang disampaikan oleh seorang perawi dari orang yang semasa dengannya dan ia bertemu dengan orang itu, tetapi tidak mendengar langsung darinya bahkan ia menciptakan kesan bahwa ia mendengar apa yang dikatakannya. Tadlis semacam ini dinamakan tadlis isnad. Sementara ada juga isnad syuyukh, yaitu memberi sifat-sifat yang lebih agung dari kenyataan atau memberinya nama dengan kunyah kepada perawinya dengan maksud menyamarkan identitasnya. Seperti ungkapan, “Orang alim yang teguh pendirian menceritakan padaku,” atau “Orang kuat hafalannya itu menceritakan kepadaku” dan seterusnya. Contohnya adalah Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Bakar bin Mujahi al-Muqri’ dari Abu Bakar bin Dawud.[8] Untuk membantu dalam melihat periwayat mudallis Ibn Hajar al-‘Asqalani telah menghimpun dalam kitabnya, Tabaqat al-Mudallisin beserta penilaiannya. Peringkat pertama dan kedua dinilai siqah. Peringkat ketiga sebagian ulama Hadis tidak menerimanya kecuali dengan lafaz sam’ seperti sami’tu/sami’na, haddasani/na, akhbarni/na. Peringkat keempat, mayoritas Hadis tidak menerima kecuali dengan lafaz sam’ dan mudallis peringkat kelima dinilai oleh ulama Hadis dengan mardud (ditolak).

  1. Natijah

Langkah terakhir adalah kegiatan penyimpulan, yaitu apakah Hadis yang diteliti melalui kaidah sanad termasuk Sahih, Hasan atau Daif dengan syarat-syarat yang telah dikemukakan di atas.

Contoh:

Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dan at-Tirmizi. Para periwayat Abu Dawud dinilai siqah kecuali Abu Hafs ‘Umar ibn Yazid dinilai saduq. Peniliannya saduq menunjukkan hafalan yang kurang sempurna (khafifun dabt). Tahun wafat para periwayat juga menunjukkan keadaan masing-masing semasa (mu’asir) dengan gurunya. Karena itu Hadis Abu Dawud dinilai hasan.[9]

At-Tirmizi meriwayatkan dari Ziyad ibn Ayyub dari ‘Abbad ibn ‘Awwam pada sanad Abu Dawud. Ziyad sama dengan periwayat-periwayat di atasnya yaitu siqah. Tahun wafat para periwayat juga menunjukkan keadaan masing-masing semasa (mu’asir) dengan gurunya. Karena itu Hadis at-Tirmizi adalah sahih. Selanjutnya dengan dukungan Hadis at-Tirmizi ini, status Hadis Abu Dawud meningkat menjadi Sahih Li Ghairihi.

D. Penutup

Berdasarkan kaidah penelitian sanad terhadap Hadis Nabi saw. yang penulis bahas dalam makalah ini. Ada beberapa poin yang menjadi catatan penting bagi penulis juga peminat kajian Hadis dalam upaya melakukan penelitian sanad Hadis antara lain: Pertama, penelitian sanad mengharuskan kemahiran berbahasa Arab; kedua, penelitian sanad mengharuskan adanya pembimbing yang mumpuni dalam bidang Hadis; dan ketiga penelitian sanad mengharuskan adanya sikap ulet dan sabar.

DAFTAR PUSTAKA

‘Abd al-Latif, ‘Abd al-Maujud Muhammad. ‘Ilm al-Jarh wa at-Ta’dil: Dirasat wa Tatbiq.Kuwait: ad-Dar as-Salafiyah, 1408 H/1988 M.

Al-Khatib, Muhammad ‘Ajjaj. As-Sunnah Qabla at-Tadwin. Beirut: Dar al-Fikr, 1410 H/1981 M.

An-Naisaburi. Ma’rifah ‘Ulum al-Hadis. Kairo: tp., 1937.

Ismail, M. Syuhudi. Metodologi Penelitian Hadis Nabi. Jakarta: Bulan Bintang, 1992.

Penjelasan Ustaz Ramli Abdul Wahid dalam seminar mata kuliah Hadis tanggal 14 Desember 2008 PPs IAIN Sumatera Utara Medan.

Wahid, Ramli Abdul. Studi Ilmu Hadis. Bandung: Citapustaka Media, 2005.

________________. Fikih Sunnah dalam Sorotan. Medan:LP2IK, 2005.



[1]Ramli Abdul Wahid, Fikih Sunnah dalam Sorotan (Medan: LP2IK, 2005), h. 55-56.

[2]Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, As-Sunnah Qabla at-Tadwin (Beirut: Dar al-Fikr, 1410 H/1981 M), h. 221.

[3]‘Abd al-Maujud Muhammad ‘Abd al-Latif, ‘Ilm al-Jarh wa at-Ta’dil: Dirasat wa Tatbiq (Kuwait: ad-Dar as-Salafiyah, 1408 H/1988 M), h. 11-13.

[4]Penjelasan Ustaz Ramli Abdul Wahid dalam seminar mata kuliah Hadis tanggal 14 Desember 2008 PPs IAIN Sumatera Utara Medan.

[5]Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadis (Bandung: Citapustaka Media, 2005), h. 167.

[6]Ibid.

[7]M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 85-86.

[8]An-Naisaburi, Ma’rifah ‘Ulum al-Hadis (Kairo: tp., 1937), h. 111-112.

[9]Wahid, Fikih, 112-113.

First
Show comments
Hide comments