14.14 1 Edit Artikel

Kodifikasi Hadis By Suhendri

A. Pendahuluan

Keberadaan Hadis sebagai salah satu sumber ajaran dalam Islam memiliki sejarah perkembangan dan penyebaran yang kompleks. Sejak dari masa prakodifikasi, zaman Nabi, sahabat, dan tabiin hingga setelah pembukuan pada abad ke-2 H.
Perkembangan Hadis pada masa awal lebih banyak menggunakan lisan, dikarenakan larangan Nabi saw. untuk menulis hadis. Larangan tersebut berdasarkan kekhawatiran Nabi saw. akan tercampurnya nas Alquran dengan hadis. Selain itu, juga disebabkan fokus Nabi saw. pada para sahabat yang bisa menulis untuk menulis Alquran. Larangan tersebut berlanjut sampai pada masa tabiin besar. Bahkan khalifah ‘Umar ibn al-Khattab sangat menentang penulisan hadis, begitu juga dengan khalifah yang lain. Meskipun memang ada beberapa sahabat yang mencatat hadis untuk dirinya sendiri yang dikenal dengan sah‾ifah. Sementara itu periodisasi penulisan dan pembukuan hadis secara resmi dimulai pada masa pemerintahan khalifah ‘Umar ibn Abd al-Aziz, salah seorang khalifah dari dinasti Amawiyah. Terlepas dari naik turunnya perkembangan hadis, tak dapat dinafikan bahwa sejarah perkembangan hadis memberikan pengaruh yang cukup besar bagi perkembangan peradaban Islam.

Penulis menyadari bahwa judul yang sama dengan makalah ini telah banyak menjadi bahan kajian para ulama terdahulu dan masa kini, yang menurut hemat penulis bobot kajiannya lebih mendalam dari apa yang akan penulis paparkan dalam makalah ini. Namun demikian, penulis – dengan segala keterbatasan – yakin bahwa tulisan ini setidaknya dapat dianggap sebagai wujud kecintaan terhadap hadis dan diharapkan dapat menguatkan atau bahkan memperjelas pembahasan mengenai kodifikasi hadis, yang oleh sebagian golongan diragukan otensitasnya karena jarak yang begitu jauh antara kodifikasi hadis dengan waktu hadis itu disampaikan Rasulullah saw. Seruan meragukan otensitas hadis ini dimotori oleh para orientalis seperti Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht, namun sangat disayangkan diikuti oleh tokoh-tokoh Muslim antara lain Ahmad Amin, dan lainnya.

Oleh karena itu, berkaitan dengan pembahasan kodifikasi hadis secara resmi dalam makalah ini akan dibahas antara lain: Menulis Hadis: Antara Perintah dan Larangan, Catatan Hadis di Masa Sahabat, dan Kodifikasi Hadis Secara Resmi.

B. Menulis Hadis: Antara Larangan dan Perintah

Semua penulis sejarah Nabi saw., ulama dan umat Islam sependapat menetapkan bahwa Alquran memperoleh perhatian yang penuh dari Rasul saw. dan dari para sahabat. Rasul saw. memerintahkan para sahabat untuk menghafal Alquran dan menulisnya di kepingan tulang tulang, di pelepah kurma, di batu-batu dan lain-lain. Ketika Rasul saw. wafat, Alquran telah dihafal dengan sempurna dan telah lengkap ditulis, hanya yang belum dikumpulkan dalam mushaf saja. Sementara itu hadis, meskipun merupakan sumber ajaran Islam yang penting sesudah Alquran, tidak memperoleh perhatian yang demikian. Hadis tidak ditulis secara resmi, tidak diperintahkan orang menulisnya seperti menuliskan Alquran. Oleh karena itu, penyebaran hadis pada masa Rasululah saw. khususnya, disampaikan dari mulut ke mulut (secara lisan).

Setidaknya menurut TM. Hasbi Ash-Shiddiqi, perbedaan perhatian tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:

  1. Menuliskan ucapan-ucapan Nabi saw., amalan-amalannya, muamalahnya adalah satu keadaan yang sukar, karena memerlukan adanya segolongan sahabat yang terus-menerus harus menyertai Nabi saw. untuk menulis segala yang tersebut di atas padahal orang-orang yang dapat menulis pada masa itu masih dapat dihitung.
  2. Karena orang Arab – disebabkan karena mereka tak pandai menulis dan membaca tulisan – kuat berpegang kepada kekuatan hafalan dalam segala apa yang mereka ingin menghafalnya.
  3. Karena dikhawatirkan akan bercampur dalam catatan sebagian sabda Nabi saw. dengan Alquran.[1]

Kekhawatiran sebagaimana diungkapkan pada poin ketiga, sesungguhnya menjadi pesan inti dari hadis Rasulullah saw. yang melarang untuk menulis hadis. Hadis yang berisi pelarangan untuk menulis hadis Rasulullah saw. berasal dari Abu Sa’id al-Khudri, Abu Hurairah dan Zaid ibn S۟abit.[2] Di samping itu, memang perhatian untuk menulis hadis tidak sebagaimana Alquran, karena para sahabat ketika itu akan mendapat jawaban dari Rasulullah saw. manakala terdapat persoalan dan melihat perilaku Rasulullah saw. secara langsung. Setidaknya para sahabat memperoleh Hadis dari Rasulullah saw. melalui empat cara, yaitu:

  1. Dari majlis-majlis Rasulullah saw.
  2. Kejadian-kejadian yang dialami oleh Rasulullah saw. sendiri kemudian beliau menjelaskan hukum kejadian tersebut.
  3. Kejadian-kejadian yang dialami sahabat kemudian mereka menanyakan hukumnya kepada Rasulullah saw.
  4. Perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh Rasulullah saw. yang disaksikan oleh para sahabat. Seperti tata cara sholat, puasa, haji dan ketika Rasulullah saw. dalam perjalanan dan sebagainya.[3]

Sementara alasan lainnya yang dianggap sebagai dasar pelarangan menulis hadis adalah agar umat Islam tidak sembarangan dalam meriwayatkan hadis dan agar perhatian umat Islam tidak hanya terfokus pada hadis.[4]

Di luar riwayat tentang larangan penulisan hadis ternyata juga dijumpai riwayat yang menyuruh untuk menulis hadis. Satu di antaranya adalah Rasulullah saw. memerintahkan menuliskan isi pidatonya untuk Abu Syah.[5] Berkenaan dengan ini – dalam upaya untuk mengkompromikan dua hadis yang secara lahir bertentangan para ulama, memiliki beragam pendapat, antara lain (a) Hadis pelarangan telah di-nasakh dengan hadis perintah, hal ini didasarkan atas fakta bahwa hadis perintah khususnya hadis Abu Syah disampaikan setelah Fathulmakkah, (b) larangan bersifat umum, sedangkan perintah bersifat khusus, yaitu berlaku bagi para sahabat yang kompeten menulis, hal ini karena kebanyakan sahabat adalah ummiy atau kurang mampu menulis sehingga dikhawatirkan terjadi kesalahan penulisan, (c) pendapat ketiga menyatakan bahwa larangan bersifat khusus yaitu menulis hadis bersama dengan Alquran, karena hal ini dapat menimbulkan kerancuan.[6]

Berkaitan dengan ketiga pendapat tersebut menarik disimak pendapat dua orang pakar hadis kontemporer yaitu Nuruddin Itr dan Muhammad Musthafa Azami. Menurut Nurudin Itr, pendapat yang menyatakan bahwa hadis tentang pelarangan telah mansukh dengan hadis perintah tidak dapat menyelesaikan persoalan. Karena seandainya larangan penulisan hadis telah di-nasakh dengan hadis perintah niscaya tidak ada lagi sahabat yang enggan menulis hadis sesudah wafat Rasulullah saw.

Bagi para pencari hadis, hal ini akan menjadi argumen mereka menghadapi para sahabat yang enggan menulis hadis, sebab para pencari hadis ini sangat besar keinginannya untuk membukukan hadis. Karena itu, jalan penyelesaiannya adalah bahwa penulisan hadis pada dasarnya tidak dilarang. Adanya larangan penulisan hadis tidak lain karena adanya ‘illat khusus. Ketika ‘illat itu tidak ada, maka otomatis pelarangan tidak berlaku. Illat yang dimaksud adalah adanya kekhawatiran berpalingnya umat dari Alquran karena merasa cukup dengan apa yang mereka tulis.

Untuk memperkuat argumen ini Nurudin Itr mengutip pernyataan Umar bin Al-Khaththab sebagai mana diriwayatkan oleh Urwah bin Zubair, Umar berkata: “Sesungguhnya saya pernah berkeinginan untuk menuliskan sunnah-sunnah Rasulullah saw., tetapi aku ingat bahwa kaum sebelum kamu menulis beberapa kitab lalu mereka menyibukkan diri dengan kitab-kitab itu dan meninggalkan kitab Allah. Demi Allah saya tidak akan mencampuradukkan kitab Allah dengan sesuatu apapun buat selama-lamanya.”

Sedangkan Muhammad Musthafa Azami berpendapat bahwa larangan penulisan hadis berlaku untuk penulisan hadis bersama Alquran dalam satu naskah. Hal ini karena dikhawatirkan akan terjadi percampuran antara Hadis dengan Alquran. Ada dua argumen yang disampaikan Azami, pertama bahwa Nabi saw. mengimlakkan sendiri hadisnya. Ini berarti penulisan hadis pada dasarnya tidak dilarang. Kedua, adanya penulisan hadis yang dilakukan oleh banyak sahabat yang telah direstui oleh Rasulullah saw. Berdasarkan dua alasan tersebut secara umum penulisan hadis tidak dilarang, adanya pelarangan bersifat khusus yaitu menulis hadis bersama Alquran.

Catatan Hadis pada Masa Sahabat

Betapapun adanya larangan menulis Hadis, namun para sahabat memiliki catatan hadis. Catatan hadis yang ada di tangan sahabat dikenal dengan sahifah. Paling tidak ada beberapa catatan hadis para sahabat yang dapat dijadikan dasar untuk menguatkan mata rantai penulisan hadis, yaitu antara lain:[7]

  1. Sahifah as-Sadiqah. Sahifah dinisbatkan kepada Abdullah ibn Amr ibn Ash ra. (w. 63 H). Beliau mendapat izin mencatat dari Rasulullah saw. Ia telah mencatat 1000 hadis. Semua risalah dalam sahifah ini dapat dilihat dalam musnad Imam Ahmad.
  2. Sahifah as-Sahihah. Sahifah ini dinisbatkan kepada Hammam ibn Munabbih (w. 101 H). Beliau adalah murid Abu Hurairah ra. Salinan manuskrip sahifah al-shahihah ini masih tersedia di perpustakaan Jerman (Berlin) dan Damaskus (Suriah). Imam Ahmad ibn Hanbal telah mengkategorisasikannya dalam Musnadnya. Dan risalah ini telah di-tahqiq oleh Hamidullah mengandung 138 riwayat.
  3. Sahifah Basyir Ibn Nahik. Beliau adalah murid Abu Hurairah.
  4. Sahifah Abu Hurairah. Musnad ini ditulis semenjak ia hidup bersama Rasulullah saw. Salinan sahifah ini ada pada ayah ‘Umar ibn Abd al-‘Aziz, yaitu Abd al-‘Aziz ibn Marwan (w. 86 H). Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya surat perintah beliau kepada Kasir ibn Murrah agar mengirimkan hadis yang didengarnya dari para sahabat, tetapi jangan mengirimkan hadis yang berasal dari Abu Hurairah ra. karena beliau telah memilikinya. Sahifah Abu Hurairah ini telah ditulis tangan oleh Ibn Taimiyyah dan tulisan tangan ini masih tersedia di perpustakaan Jerman (Berlin).
  5. Sahifah Ali ibn Abi Talib ra. Menurut Imam Bukhari bahwa sahifah ini cukup besar yang berisi masalah zakat, amaliyah yang diperbolehkan dan dilarang di Madinah dan khutbah haji wada’.
  6. Sahifah Jabir ra. yang berisi tentang khutbah haji wada’.
  7. Riwayat ‘Aisyah ra. yang tulis oleh ‘Urwah ibn Zubair.
  8. Sahifah Anas ibn Malik ra.
  9. Amru ibn Hazm ra.
  10. Risalah Samurah ibn Jundub ra.
  11. Sa’ad ibn ‘Ubadah ra.
  12. Maktub Nafi’ ra.
  13. Abdullah ibn Mas’ud.

Selanjutnya yang patut dicermati adalah bahwa di antara para sahabat tidaklah sama dalam penguasaan hadis Rasulullah saw. baik dalam hal penghafalan maupun penulisan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: [1] Perbedaan mereka dalam soal kesempatan bersama Rasulullah saw. [2] Perbedaan mereka dalam soal kesanggupan untuk selalu bersama Rasulullah saw. [3] Perbedaan mereka dalam hal hafalan juga kemampuan menulis serta kesungguhan mereka bertanya kepada sahabat lain. [4] Perbedaan mereka karena berbedanya masuk Islam dan jarak tempat tinggal dari majlis Rasulullah saw.[8]

C. Kodifikasi Hadis Secara Resmi

Proses kodifikasi Hadis atau tadwin Hadis yang dimaksudkan adalah proses pembukuan hadis secara resmi yang dilakukan atas instruksi khalifah, dalam hal ini adalah khalifah Umar bin ‘Abd al-‘Aziz (memerintah tahun 99-101 H).[9] Beliau merasakan adanya kebutuhan yang sangat mendesak untuk memelihara perbendaraan Sunnah. Untuk itulah beliau mengeluarkan surat perintah ke seluruh wilayah kekuasaannya agar setiap orang yang hafal Hadis menuliskan dan membukukannya supaya tidak ada Hadis yang akan hilang pada masa sesudahnya. Secara lebih rinci gagasan ‘Umar ibn Abd al-‘Aziz untuk membukukan hadis dapat dilihat dari beberapa aspek yang melatarinya, antara lain: Pertama, ahli Hadis menyerahkan urusan penulisan hadis pada hafalan para sahabat yang bersandar pada maknanya saja sementara lafalnya tidak hafal (baca: lupa), sehingga terjadilah perselisihan penukilan riwayat sekaligus rawinya. Oleh karena itu, ‘Umar ibn Abd al-‘Aziz khawatir hadis akan disia-siakan umat Islam.[10]

Kedua, penulisan dan penyebaran hadis, baik pada masa Rasulullah saw. maupun sahabat masih bersifat kolektif individual, ditambah lagi dengan bervariasinya kemampuan sahabat dalam menerima hadis. Atas kondisi ini, dikhawatirkan akan terjadi penambahan dan pengurangan lafaz-lafaz hadis yang diriwayatkan.

Ketiga, meluasnya kekuasaan Islam ke berbagai negara dan memiliki pengaruh yang besar di tiga benua: Asia, Afrika dan sebagian Eropa. Hal ini membuat para sahabat tersebar dalam berbagai negara, di samping kehobian mereka sebagai pengembara untuk mencari ilmu pengetahuan, serta kompleksnya permasalahan yang mereka hadapi membuat hafalan para sahabat berkurang (baca: bercampur baur/tidak utuh), belum lagi banyak para sahabat yang meninggal dalam peperangan demi membela panji-panji Islam. Atas kondisi itu khalifah merasa cemas, Hadis yang berada pada hafalan sahabat akan hilang begitu saja.[11]

Keempat, faktor yang tidak kalah pentingnya adalah munculnya hadis-hadis palsu - yang ditunggangi oleh faktor politik[12] – terutama sesudah wafatnya Ali ibn Abi Talib sampai masa dinasti Umayyah sehingga terpecahnya umat Islam ke dalam beberapa golongan yang membawa masing-masing mereka untuk mendatangkan keterangan-keterangan hadis yang diperlukan untuk melegitimasi golongan mereka sebagai golongan yang benar.[13]

Khalifah ‘Umar ibn Abd al-‘Aziz mengintruksikan kepada qadhinya di Madinah, yaitu Abu Bakr ibn Hazm yang menjadi guru Ma`mar, al-Lais, al-Auza`i, Malik ibn Anas, Ibn Ishaq dan Abi ibn Zi`bin supaya membukukan hadis Rasulullah saw. yang terdapat pada penghafal wanita yang terkenal, yaitu ‘Amrah bint Rahman ibn Sa’ad ibn Zurarah ibn Ads, seorang ahli fikih murid Siti ‘Aisyah ra. Kitab hadis yang ditulis oleh Ibn Hazm merupakan kitab hadis pertama, yang ditulis atas perintah kepala Negara, namun kitab hadis tersebut tidak membukukan seluruh peredaran Hadis yang ada di Madinah. Adapun yang membukukan hadis yang ada di Madinah adalah Muhammad ibn Muslim ibn Syihab az-Zuhri, seorang ulama yang terkenal pada masanya.[14]

Setelah usaha az-Zuhri tersebut, muncullah gagasan ulama hadis lainnya untuk membukukan hadis dalam suatu kitab. Ulama-ulama tersebut antara lain: Ibn Juraij di Meakkah, Ibn Ishak dan Imam Malik di Madinah, Sa’id ibn Abi Arubah, Rabi’ ibn Sabih dan Hammad ibn Salmah di Basrah, Sufyan as-Sauri di Kufah, Abu ‘Umar al-Auza`i di Syam, Hasyim dan Ma’mar di Yaman dan Ibn Mubarak di Khurasan dan al-Lais ibn Sa’ad di Mesir. Semua ulama hadis yang membukukan hadis tersebut adalah sederetan ulama-ulama hadis yang hidup pada abad kedua Hijriah.[15] Yang dari mereka membuat kota-kota tempat mereka berada menjadi tempat pengajaran hadis dan akhirnya menjadi pusat studi hadis. Akan tetapi penulis sejarah belum dapat menentukan siapa tokoh pelanjut pertama dalam penulisan hadis setelah az-Zuhri karena ulama-ulama tersebut seluruhnya semasa.[16]

Pembukuan hadis terus berlanjut sampai pada akhir pemerintahan Bani Umayyah namun sempurna keadaannya ketika datangnya Bani ‘Abbas sekitar pertengahan abad kedua. Tampilnya kembali Imam Malik, Imam asy-Syafi’i dan Imam Muhammad ibn Hasan asy-Syaibani dengan penyusunan hadis secara lengkap mulai dari hadis Rasulullah saw. sampai dengan perkataan sahabat dan fatwa tabiin.[17]

Ketika perjalanan hadis memasuki abad ketiga, pada dasarnya masa ini merupakan masa penyempurnaan buku-buku hadis sebelumnya. Tetapi gerakan ulama-ulama hadis abad ketiga lebih bersifat sistematis dan kronologis, yaitu dengan mengklasifikasikan sederetan hadis melalui criteria yang ketat. Menurut para penulis orang pertama yang menulis dan mengumpulkan hadis dalam satu bab tertentu adalah Al-Jalil Amir asy-Syiba’i (w. 130 H), beliau menyusun kitab hadis khusus mengenai talak. Kemudian dilanjutkan oleh ‘Abdullah ibn Musa dan Na`im ibn Hammad al-Khaz’i dan lainnya. Di abad ketiga inilah mulai digelar kritik sanad dan matan serta jarh wa ta’dil-nya hadis. Usaha ini lebih disebut sebagai pentashihan hadis dengan kriteria tertentu, sebagaimana yang dilakukan Imam Bukhari dan selanjutnya diteruskan oleh beberapa orang muridnya sehingga terjaringlah Hadis-hadis dengan skala nilainya.

D. P e n u t u p

Proses kodifikasi Hadis adalah proses pembukuan Hadis secara resmi yang dikoordinasi oleh pemerintah dalam hal ini adalah khalifah, bukan semata-mata kegiatan penulisan Hadis, karena kegiatan penulisan Hadis secara berkesinambungan telah dimulai sejak Rasulullah saw. hidup. Berangkat dari realitas ini adanya tuduhan bahwa Hadis sebagai sumber yurisprudensi diragukan otentisitasnya atau tidak otentik merupakan tuduhan yang tidak beralasan karena tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya. Tentang adanya larangan penulisan Hadis hal ini patut dimaknai larangan secara khusus yaitu menuliskan Hadis bersama Alquran dalam satu tempat sehingga dikhawatirkan menimbulkan kerancuan, atau menyibukkan diri dalam penulisan Hadis sehingga mengesampingkan Alquran.

DAFTAR BACAAN

‘Ajjaj al-Khatib, Muhammad. Usul al-Hadis: ‘Ulumuhu wa Musthalahuhu. Beirut: Dar al-Fikr, 1979.

Ash-Shidiqi, TM. Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1999.

Bukhari, Imam. Sahih al-Bukhari Juz I. Beirut: Dar al-Fikr, tt.

Ibn ‘Abd al-Barr, Abu ‘Umar Yusuf. Jami’ Bayan al-‘Ilm wa Fadlih Juz II. Mesir: Idarat al-Matba’ah al-Munirah: tt.

Ismail, M. Syuhudi. Metodologi Penelitian Hadis Nabi. Jakarta: Bulan Bintang, 1992.

Muhammad Abu Zahwi, Muhammad. al-Hadis wa al-Muhaddisun. Mesir: Dar al-Fikr ‘Arabiy: tt.

Muslim, Imam. Sahih Muslim Juz II. Beirut: Dar al-Fikr, tt.

Suparta, Munzier dan Utang Ranuwijaya. Ilmu Hadis. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996.

Syaikh ‘Abd al-Ghaffar Hasan ar-Rahmani, “Pengantar Sejarah Tadwin Hadis” dalam http://www.clearpath.com diakses pada 12 September 2008.



[1]TM. Hasbi Ash-Shiddiqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1999), h. 34.

[2]Imam Mulim, Sahih Muslim (Beirut: Dar al-Fikr, tt.), juz II, h. 710.

[3]Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadis: ‘Ulumuhu wa Musthalahuhu (Beirut: Dar al-Fikr, 1979), h. 67-70.

[4]Abu ‘Umar Yusuf ibn Abd al-Barr, Jami’ Bayan al-‘Ilm wa Fadhlih (Mesir: Idarat al-Mathba’ah al-Munirah: tt.), juz II, h. 64.

[5]Imam Bukhari, Shahih al-Bukhari (Beirut: Dar al-Fikr, tt.) juz I, h. 31

[6]Hasbi, Pengantar dan Sejarah, h. 38-39.

[7]Syaikh Abdul Ghaffar Hasan ar-Rahmani, “Pengantar Sejarah Tadwin Hadis” dalam http://www.clearpath.com diakses pada 12 September 2008.

[8]Munzier Suparta dan Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996), h. 60.

[9]M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 16-17.

[10]Hasbi, Pengantar dan Sejarah.. h. 68.

[11]Muhammad Muhammad Abu Zahwi, al-Hadis wa al-Muhaddisun, (Mesir: Dar al-Fikr ‘Arabiy: tt.), h. 245.

[12]Munzier, Ilmu Hadis h. 74.

[13]Hasbi , Pengantar h. 77.

[14]Abu Zahwi, al-Hadis wa h. 245.

[15]Hasbi, Pengantar h. 61.

[16]Abu Zahwi, al-Hadis h. 245.

[17]Ibid.

Kritik Sanad

Kritik Sanad

14.07 0 Edit Artikel

Kritik Sanad By Suhendri

A. Pendahuluan

Tujuan penelitian Hadis adalah untuk menilai apakah secara histories sesuatu yang dikatakan sebagai Hadis Nabi saw. benar-benar dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya berasal dari Nabi saw. ataukah tidak. Hal ini sangat penting sebab kedudukan Hadis erat kali hubungannya dengan dapatnya Hadis dijadikan hujah agama.

Untuk keperluan penelitian kualitas Hadis Nabi saw. para ulama telah menciptakan pelbagai kaidah dan ilmu pengetahuan Hadis. Dengan kaidah dan ilmu Hadis tersebut maka para ulama mengadakan pembagian kualitas Hadis. Pembagian kualitas Hadis ini dilihat dari dua sisi, yaitu pengkajian tentang sanad dan matan.

Pengkajian sanad menjadi penting, sebab bila suatu Hadis sanadnya benar-benar dapat dipertanggungjawabkan maka Hadis tersebut bernilai maqbul (Sahih atau Hasan). Hal ini memang logis mengingat apabila suatu informasi telah benar-benar dipercaya sumber dan rangkaian pembawa informasinya maka penerima informasi tidak memiliki alasan untuk menolak kebenaran informasi itu.

Mengingat kaidah kesahihan sanad Hadis merupakan salah satu acuan umum yang mendasar untuk meneliti dan menentukan kulaitas suatu Hadis maka kaidah dimaksud perlu ditelaah secara kritis sehingga apabila tingkat akurasi kesahihan sanad telah dapat diketahui maka akan dapat diketahui pula faktor-faktor lain bila ada yang menyebabkan terjadinya perbedaan antara kualitas sanad suatu Hadis tertentu. Oleh karena itu dalam makalah ini akan dibahas tentang: Pengertian dan Sejarah Perkembangan Kritik Sanad serta Konsep Dasar dalam Penelitian Sanad.

B. Pengertian dan Sejarah Perkembangan Kritik Sanad

Sanad secara etimologis berarti sandaran dan pegangan. Secara terminologis sanad berarti jalan yang menyampaikan kita kepada matan Hadis. Maksudnya adalah sejumlah nama orang yang menjadi periwayat sebuah Hadis secara berurutan. Satu persatu nama periwayat diidentifikasi mulai dari sahabat yang menerimanya dari Nabi saw., tabiin yang menerimanya dari sahabat sampai kepada penghimpunnya. Sementara itu yang dimaksud dengan kritik sanad adalah penilaian terhadap keadaan setiap periwayat Hadis yang bersangkutan dari berbagai aspek, masa hidup, pengetahuan, guru dan murid, kejujuran, kesalihan, kekuatan ingatan, cara berpikir dan aliran teologi yang dianutnya sehingga penilaian dapat menentukan apakah riwayatnya dapat diterima atau tidak. Kritik sanad dalam ilmu Hadis dikenal dengan sebutan an-Naqd ad-Dakhili (kritik intern).[1]

Muhammad ibn Sirin (23-110 H) menjelaskan bahwa kaum Muslimin dahulu tidak mempetanyakan isnad baru setelah terjadi perang saudara (fitnah) mereka berkata: “Sebutkan orang-orangmu?”. Jika dilihat ahli Sunnah maka Hadis mereka diambil. Jika ahli bidah maka Hadis mereka tidak diambil.[2]

Pernyataan Ibn Sirin di atas menunjukkan bahwa tuntutan terhadap sanad muncul sesudah berlangsungnya perang saudara dan sanad ketika itu dikelompokkan ke dalam dua klasifikasi, yaitu ahli Sunnah dan ahli Bidah. Selanjutnya dari keterangan Ibn Sirin juga dapat disebutkan bahwa mereka membedakan antara ahli Sunnah dan ahli Bidah. Orang yang tidak menganut paham ahli Sunnah pada umumnya mereka dinilai sebagai ahli Bidah. Dengan demikian berarti mereka telah melakukan kritik sanad karena mereka telah melakukan penilaian terhadap periwayat yang tidak mereka terima sesuai dengan kriteria yang mereka tentukan.

Keterangan di atas menunjukkan pentingnya keberadaan dan kedudukan sanad di kalangan sahabat dan tabiin. Ungkapan-ungkapan mereka juga menunjukkan adanya kritik sanad baik di masa sahabat maupun di masa tabiin. Kemudian, ungkapan yang senada ditemukan juga di kalangan ulama Hadis berikutnya, seperti pernyatan al-Hakim (w. 405): “Sekiranya tanpa isnad dan tuntutan kelompok ini terhadapnya serta banyaknya latihan untuk menghafalkan niscaya hilanglah obor Islam sedang kaum ateis dan ahli Bidah akan dapat membuat-buat Hadis serta membalik-balik sanad-sanad karena sesungguhnya khabar (Hadis) jika luput dari keberadaan sanad-sanad padanya akan menjadi terputus.[3]

C. Konsep Dasar dalam Penelitian Sanad

Pada mulanya, kitab Usul at-Takhrij wa Dirasah al-Asanid karya Mahmud ath-Thahhan, ‘Ilm al-Jarh wa at-Ta’dil: Dirasah wa Tathbiq karya ‘Abd al-Maujud Muhammad ‘Abd al-Lathif dan Dirasat fi al-Jarh wa at-Ta’dil karya Muhammad Dhiya` ar-Rahman al-A’zhami merupakan kerangka teoretis dalam penelitian sanad. Sementara itu secara operasional penelitian sanad dapat dilakukan sebagaimana diuraikan oleh Ustaz Ramli Abdul Wahid dalam seminar kelas mata kuliah Hadis berikut ini[4]:

  1. Penentuan Kaidah Nilai Sanad (Dasar Penelitian)

a. Sanad bernilai sahih, bila memiliki syarat-syarat sebagai berikut:

- Ittisal berarti bersambung atau berhubungan. Dimaksud dengan bersambunga atau berhubungan dalam kajian Hadis adalah antara satu periwayat dengan periwayat berikutnya saling berhubungan. Maksudnya, di antara pembawa Hadis dan penerimanya terjadi pertemuan langsung. Dengan rangkian ini maka terciptalah silsilah sanad yang sambung menyambung sejak awal sanad hingga ke Rasulullah saw.[5]

- Adil, perawai yang adil yaitu perawi yang lurus, tidak menyimpang, tidak berat sebelah dan tidak zalim. Lebih lanjut Ibn Hajar al-‘Asqalani menyebutkan seseorang dikatakan itu adil apabila ia memiliki sifat-sifat ketakwaan, akidahnya benar, akhlaknya terpelihara dan menjaga muruah di samping ia merupakan muslim, balig, berakal, dan tidak fasik.[6]

- Dabit, yaitu perawi yang dabit adalah perawi yang kuat, kukuh, cermat dan kuat hafalannya. Lebih jauh Ibn Hajar menyebutkan orang yang dabit adalah orang yang kuat hafalannya terhadap sesuatu yang pernah didengarnya kemudian mampu menyampaikan hafalan tersebut manakala diperlukan. Dengan demikian orang yang disebut dabit adalah orang yang harus mendengar secara utuh apa yang diterimanya, memahami isinya, kemudian mampu menyampaikannya dan meriwayatkannya kepada orang lain. Secara umum dabit terbagi dua, yaitu dabit sadr dan dabit kitab.

- Tidak ada syaz. Syaz berarti ganjil, asing, menyalahi aturan, tidak biasa atau menyimpang. Dengan demikian hadis yang syazz adalah Hadis yang menyimpang, ganjil, asing, tidak biasa dan menyalahi aturan. Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa syazz adalah Hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang siqah, tetapi riwayatnya bertentangan dengan riwayat yang dikemukakan oleh banyak periwayat siqah lainnya.[7]

- Tidak adanya ‘illat. ‘illat berarti penyakit, sebab, alasan atau halangan. Dengan demikian tidak ‘illatnya berarti Hadis itu tidak berpenyakit, tidak ada sebab yang melemahkannya dan menghalanginya. Dengan demikian dapat dipahami bahwa ‘illat adalah suatu sebab yang tidak tampak atau samara-samar yang dapat mencacatkan kesahihan Hadis.

b. Sanad bernilai hasan, bila salah seorang perawinya kurang sempurna dabit (hafalannya)/ khafifun dabt. Sementara itu syarat yang lain sama dengan Hadis Sahih.

c. Sanad benilai daif manakala sanadnya kurang satu atau lebih dari syarat sanad hasan.

  1. Langkah-langkah Penelitian Sanad

a. Penelusuran Hadis pada semua sumber aslinya. Yaitu kegiatan dimana peneliti sanad berupaya mencari Hadis pada kitab-kitab Hadis yang ada. Misalnya suatu Hadis terdapat di kitab Muwaththa’ Imam Malik, maka jika peneliti ingin meneiliti Hadis tersebut ia harus menelusuri Hadis tersebut di kitab-kitab Hadis yang lain. Semakin banyak seorang peneliti menemukan Hadis yang dicari pada kitab-kitab Hadis yang merupakan siumber aslinya, maka keakuratan kesimpulan penelitian sanad peneliti akan semakin valid.

b. Pembuatan skema sanad. Membuat urutan sanad mulai dari mukharrijnya sampai dengan Rasulullah saw. dalam satu bagan. Misalnya Hadis yang diingin diteliti terdapat pada 3 kitab Hadis, misalnya dalam Sunan Abu Dawud, Sahih Muslim dan Musnad Ahmad, maka yang harus dilakukan oleh peneliti adalah membuat skema sanad dalam satu bagan yang menunjukkan urutan sanad, mulai dari Abu Daud, Muslim dan Ahmad ibn Hanbal sampai ke Rasulullah saw.

c. Identifikasi para periwayat. Upaya untuk mengenal lebih dalam tentang pribadi para periwayat. Oleh karena itu dalam bagian ini dicantumkan nama lengkap para periwayat, masa hidupnya (lahir dan wafat), guru-gurunya dan murid-muridnya dan penilaian ulama Hadis terhadap mereka

  1. Penilaian Kritikus Hadis yang Kontradiktif

Dalam penelitian sanad seorang peneliti akan menemukan bahwa ada seorang periwayat dinilai siqah oleh kritikus Hadis sementara kritikus lain menilainya la ba`sa bih dan yang lainnya lagi menilainya daif. Menghadapi hal tersebut seorang peneliti sanad harus berpegang pada kaidah:

“Jarh (penilaian negatif) harus didahulukan daripada ta’dil (penilaian positif) bila diberikan penjelasan”

Dengan kata lain, dapat dipahami bahwa nilai daif oleh mutasyadid ditolak jika ada nilai lain dari kelompok lain, sebaliknya nilai siqah oleh mutasyahil tidak dipegang jika ada nilai lain dari kelompok lain.

  1. Memeriksa adanya ittisal, syuzuz, ‘illah, irsal, mursal, tadlis dan lain-lain

Langkah berikutnya adalah memeriksa apakah sanadnya ittisal (bersambung) atau terputus (inqita’). Caranya adalah dengan melihat masa hidupnya dari para perawinya apakah dimungkinkan mereka bertemu atau tidak. Jika dimungkinkan maka sanadnya muttasil dan bila tidak maka sanadnya munqati’. Sementara itu memeriksa syuzuuz (j. syazz) adalah dengan cara melihat periwayatan Hadis yang diriwayatkan perawi, apakah tidak bertentangan dengan kebanyakan perawi siqah lainnya. Sementara itu memeriksa ‘illah sanad dari suatu Hadis berkenaan dengan identifikasi kepribadian perawinya apakah perawi termasuk orang yang berakhlak mulia, memelihara muruah dan seterusnya. Selanjutnya memeriksa tadlis. Tadlis adalah Hadis yang disampaikan oleh seorang perawi dari orang yang semasa dengannya dan ia bertemu dengan orang itu, tetapi tidak mendengar langsung darinya bahkan ia menciptakan kesan bahwa ia mendengar apa yang dikatakannya. Tadlis semacam ini dinamakan tadlis isnad. Sementara ada juga isnad syuyukh, yaitu memberi sifat-sifat yang lebih agung dari kenyataan atau memberinya nama dengan kunyah kepada perawinya dengan maksud menyamarkan identitasnya. Seperti ungkapan, “Orang alim yang teguh pendirian menceritakan padaku,” atau “Orang kuat hafalannya itu menceritakan kepadaku” dan seterusnya. Contohnya adalah Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Bakar bin Mujahi al-Muqri’ dari Abu Bakar bin Dawud.[8] Untuk membantu dalam melihat periwayat mudallis Ibn Hajar al-‘Asqalani telah menghimpun dalam kitabnya, Tabaqat al-Mudallisin beserta penilaiannya. Peringkat pertama dan kedua dinilai siqah. Peringkat ketiga sebagian ulama Hadis tidak menerimanya kecuali dengan lafaz sam’ seperti sami’tu/sami’na, haddasani/na, akhbarni/na. Peringkat keempat, mayoritas Hadis tidak menerima kecuali dengan lafaz sam’ dan mudallis peringkat kelima dinilai oleh ulama Hadis dengan mardud (ditolak).

  1. Natijah

Langkah terakhir adalah kegiatan penyimpulan, yaitu apakah Hadis yang diteliti melalui kaidah sanad termasuk Sahih, Hasan atau Daif dengan syarat-syarat yang telah dikemukakan di atas.

Contoh:

Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dan at-Tirmizi. Para periwayat Abu Dawud dinilai siqah kecuali Abu Hafs ‘Umar ibn Yazid dinilai saduq. Peniliannya saduq menunjukkan hafalan yang kurang sempurna (khafifun dabt). Tahun wafat para periwayat juga menunjukkan keadaan masing-masing semasa (mu’asir) dengan gurunya. Karena itu Hadis Abu Dawud dinilai hasan.[9]

At-Tirmizi meriwayatkan dari Ziyad ibn Ayyub dari ‘Abbad ibn ‘Awwam pada sanad Abu Dawud. Ziyad sama dengan periwayat-periwayat di atasnya yaitu siqah. Tahun wafat para periwayat juga menunjukkan keadaan masing-masing semasa (mu’asir) dengan gurunya. Karena itu Hadis at-Tirmizi adalah sahih. Selanjutnya dengan dukungan Hadis at-Tirmizi ini, status Hadis Abu Dawud meningkat menjadi Sahih Li Ghairihi.

D. Penutup

Berdasarkan kaidah penelitian sanad terhadap Hadis Nabi saw. yang penulis bahas dalam makalah ini. Ada beberapa poin yang menjadi catatan penting bagi penulis juga peminat kajian Hadis dalam upaya melakukan penelitian sanad Hadis antara lain: Pertama, penelitian sanad mengharuskan kemahiran berbahasa Arab; kedua, penelitian sanad mengharuskan adanya pembimbing yang mumpuni dalam bidang Hadis; dan ketiga penelitian sanad mengharuskan adanya sikap ulet dan sabar.

DAFTAR PUSTAKA

‘Abd al-Latif, ‘Abd al-Maujud Muhammad. ‘Ilm al-Jarh wa at-Ta’dil: Dirasat wa Tatbiq.Kuwait: ad-Dar as-Salafiyah, 1408 H/1988 M.

Al-Khatib, Muhammad ‘Ajjaj. As-Sunnah Qabla at-Tadwin. Beirut: Dar al-Fikr, 1410 H/1981 M.

An-Naisaburi. Ma’rifah ‘Ulum al-Hadis. Kairo: tp., 1937.

Ismail, M. Syuhudi. Metodologi Penelitian Hadis Nabi. Jakarta: Bulan Bintang, 1992.

Penjelasan Ustaz Ramli Abdul Wahid dalam seminar mata kuliah Hadis tanggal 14 Desember 2008 PPs IAIN Sumatera Utara Medan.

Wahid, Ramli Abdul. Studi Ilmu Hadis. Bandung: Citapustaka Media, 2005.

________________. Fikih Sunnah dalam Sorotan. Medan:LP2IK, 2005.



[1]Ramli Abdul Wahid, Fikih Sunnah dalam Sorotan (Medan: LP2IK, 2005), h. 55-56.

[2]Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, As-Sunnah Qabla at-Tadwin (Beirut: Dar al-Fikr, 1410 H/1981 M), h. 221.

[3]‘Abd al-Maujud Muhammad ‘Abd al-Latif, ‘Ilm al-Jarh wa at-Ta’dil: Dirasat wa Tatbiq (Kuwait: ad-Dar as-Salafiyah, 1408 H/1988 M), h. 11-13.

[4]Penjelasan Ustaz Ramli Abdul Wahid dalam seminar mata kuliah Hadis tanggal 14 Desember 2008 PPs IAIN Sumatera Utara Medan.

[5]Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadis (Bandung: Citapustaka Media, 2005), h. 167.

[6]Ibid.

[7]M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 85-86.

[8]An-Naisaburi, Ma’rifah ‘Ulum al-Hadis (Kairo: tp., 1937), h. 111-112.

[9]Wahid, Fikih, 112-113.